BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
Islam secara fungsional adalah merupakan upaya manusia muslim merekayasa
pembentukan al insan al kamil melalui penciptaan institusi interaksi edukatif
yang kondusif. Dalam posisinya yang demikian, pendidikan islam adalah model
rekayasa individual dan social yang paling efektif untuk menyiapkan dan
menciptakan bentuk masyarakat ideal ke masa depan. Sejalan dengan konsep
perekayasaan masa depan umat, maka pendidikan Islam harus memiliki seperangkat
isi atau bahan yang akan ditransformasikan kepada peserta didik agar menjadi
milik dan kepribadiannua sesuai dengan idealitas Islam. Untuk itu perlu
dirancang suatu bentuk kurikulum pendidikan Islam yang sepenuhnya mengacu pada
nilai-nilai asasi ajaran Islam. Dalam kaitan inilah diharapkan filsafat
pendidikan Islam mampu memberikan kompas atau arah terhadap pembentukan
kurikulum pendidikan yang Islami.
Pendidikan
Islam dalam pelaksanaannya memerlukan metode yang tepat untuk menghantarkan
kegiatan pendidikannya ke arah tujuan yang dicita-citakann. Bagaimanapun baik
dan sempurnanya suatu kurikulum pendidikan Islam, ia tidak akan berarti apa-apa
manakala tidak memiliki metode atau cara yang tepat dalam mentranspormasikannya
kepada peserta didik. Ketidak tepatan dalam penerapan metode secara praktis
akan menghambat proses belajar mengajar yang akan berakibat terbuangnya waktu
dan tenaga. Karenanya metode merupakan syarat untuk efisiensi aktivitas
kepandidikan Islam. Hal ini berarti metode merupakan hal yang esensial, karena
tujuan pendidikan Islam akan tercapai secara tepat guna manakala metode yang
ditempuh benar-benar tepat.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana tinjauan Filosofis mengenai Kurikulum Pendidikan Islam ?
2. Bagaimana tinjauan Filosofis Mengenai Metode Pendidikan Islam ?
3. Bagaimana tinjauan Filosofis mengenai Lingkungan Pendidikan Islam ?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Tinjauan
Filosofis Terhadap Kurikulum Pendidikan Islam
a. Pengertian
Kurikulum Pendidikan Islam
Secara
etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari
dan curere yang artinya jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada
mulanya digunakan dalam dunia olehraga. Berdasarkan pengertian ini, dalam
konteksnya dengan dunia pendidikan menjadi “circle of instruction” yaitu suatu
lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat didalamnya.
Dalam kosa
kata Arab, istilah kurikulum dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan yang
terang yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupannya. Apabila
pengertian ini dikaitkan dengan pendidikan, maka manhaj atau kurikulum berarti
jalan terang yang dilalui pendidik atau guru dengan orang-orang yang dididik
untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka.
Berdasarkan
pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kurikulum itu adalah
merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke
arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan
ketrampilan dan sikap mental. Ini berarti bahwa proses kependidikan Islam
bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan, akan tetapi
hendaknya mengacu pada konseptualisasi manusia paripurna – baik sebagai
khalifah maupun ‘abd - melalu transformasi sejumlah pengetahuan ketrampilan dan
sikap mental yang harus tersusun dalam kurikulum pendidikan Islam. Disinilah
filsafat pendidikan Islam dalam memberikan pandangan filosofis tentang hakikat
pengetahuan, ketrampilanm dan sikap mental yang dapat dijadikan pedoman dalam
pembentukan manusia paripurna ( al- insan al-kamil).
Selain
itu, ada pula yang berpendapat bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran
yang disiapkan berdasarkan rancangan yang sistematik dan koordinatif dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Selanjutnya, sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan dunia pendidikan, definisi kurikulum
sebagaimana disebutkan di atas dipandang sudah ketinggalam zaman. Saylor dan
Alexander, mengatakan bahwa kurikulum bukan hanya sekedar memuat sejumlah mata
pelajaran, akan tetapi termasuk juga di dalamnya segala usaha lembaga
pendidikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik usaha tersebut dilakukan
di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.
b.
Cakupan Kurikulum
Dengan demikian
cakupan bahan pengajaran yang terdapat dalam kurikulum pada masa sekarang
nampak semakin luas. Berdasarkan pada perkembangan yang seperti ini, maka para
perancang kurikulum meliputi empat bagian. Pertama, bagian yang berkenaan
dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh proses belajar mengajar. Kedua,
bagian yang berisi pengetahuan, informasi-informasi, data, aktivitas-aktivitas,
dan pengalaman-pengalaman yang merupakan bahan bagi penyusunan kurikulum yang
isinya berupa mata pelajaran dalam silabus. Ketiga, bagian berisi metode
penyampaian. Keempat, bagian yang berisi metode penilaian dan pengukuran atas
hasil pengajaran tersebut.
c.
Asas-Asas Kurikulum Pendidikan Islam
Suatu
kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan Islam, hendaknya mengandung beberapa
unsur utama seperti tujuan, isi mata pelajaran, metode mengajar, dan metode
penilaian. Kesemuaannya harus tersusun dan mengacu pada suatu sumber kekuatan
yang menjadi landasan dalam pembentukannya. Sumber-sumber tersebut dikatakan
sebagai asas-asas pembentukan kuriulum pendidikan.
Menurut
mohammad al Thoumy al Syaibany, asas-asa umum yang menjadi landasan pembentukan
kurikulum dalam pendidikan Islam adalah:
I.
Asas Agama
Seluruh
sistem yang ada dalam masyarakat Islam, termasuk sistem pendidikannya harus
meletakan dasar falsafah, tujuan, dan kurikulumnya pada ajaran Islam yang
meliputi aqidah, ibadah dan muamalah. Hal ini bermakna bahwa itu semua pada
akhirnya harus mengacu pada dua sumber utama syariat Islam, yaitu al-Qur’an dan
as-Sunnah. Sementara sumber lainnya sering dikategorikan sebagai metode seperti
ijma, qiyas dan ihtisan.
Pembentukan kurikulum pendiidkan Islam harus diletakan pada apa yang telah digariskan oleh 2 sumber tersebut dalam rangka menciptakan mausia yang bertaqwa sebagai ‘abid dan khalifah dimuka bumi.
Pembentukan kurikulum pendiidkan Islam harus diletakan pada apa yang telah digariskan oleh 2 sumber tersebut dalam rangka menciptakan mausia yang bertaqwa sebagai ‘abid dan khalifah dimuka bumi.
II.
Asas Falsafah
Dasar
ini memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam, dengan dasar filosofis,
sehingga susunan kurikulumpendidikan Islam mengandung suatu kebenaran, terutama
dari sisi nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini kebenarannya.
Secara umum, dasar falsafah ini membawa konsekwensi bahwa rumusan kurikulum
pendidikan Islam harus beranjak dari konsep ontologi, epistemologi dan
aksiologi yang digali dari pemikiran manusia muslim, yang sepenuhnya tidak
bertentangan dengan nilai-nilai asasi ajaran Islam.
III.
Asas Psikologis
Asas
ini memberi arti bahwa kurikulum pendidikan Islam hendaknya disusun dengan
mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui anak
didik. Kurikulum pendidikan Islam harus dirancang sejalan dengan ciri-ciri
perkembangan anak didik, tahap kematangan bakat-bakat jasmani, intelektual,
bahasa, emosi dan sosial, kebutuhan dan minat, kecakapan dan perbedaan
individual dan aspek lainnya yang berhubungan dengan aspek-aspek psikologis.
IV. Asas
Sosial
Pembentukan
kurikulum pendidikan Islam harus mengacu ke arah realisasi individu dalam
masyarakat. Pola yang demikian ini berarti bahwa semua kecenderungan dan
perubahan yang telah dan bakal terjadi dalam perkembangan masyarakat manusia
sebagai mahluk sosial harus mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan Islam.
Hal ini dimaksudkan agar out-put yang diahasilkan menjadi manusia yang mampu
mengambil peran dalam masyarakat dan kebudayaan dalam konteks kehidupan
zamannya.
Keempat
asas tersebut di atas harus dijadikan landasan dalam pembentukan kurikulum
pendidikan Islam. Perlu ditekankan bahwa antara satu asas dengan asas lainnya
tidaklah berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus merupakan suatu kesatuan yang
utuh sehingga dapat membentuk kurikulum pendidikan Islam yang terpadu, yaitu
kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pengembangan anak didik dalam unsur
ketauhidan, keagamaan, pengembangan potensinya sebagai khalifah, pengembangan
kepribadiannya sebagai individu dan pengembangannya dalam kehidupan sosial.
d.
Kriteria Kurikulum Pendidikan Islam
Berdasarkan
pada asas-asas tersebut, maka kurikulum pendidikan Islam menurut An Nahlawi
harus pula memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.
Sistem dan perkembangan kurikulum
hendaknya selaras dengan fitrah insani sehingga memiliki peluang untuk
mensucikannya, dan menjaganya dari penyimpangan dan menyelamatkannya.
2.
Kurikulum hendaknya diarahkan untuk
mencapai tujuan akhir pendidikan Islam, yaitu ikhlas, taat beribadah kepada
Allah, disamping merealisasikan tujuan aspek psikis, fisik, sosial, budaya
maupun intelektual
3.
Pentahapan serta pengkhususan
kurikulum hendaknya memperhatikan periodesasi perkembangan peserta didik maupun
unisitas (kekhasan) terutama karakteristik anak-anak dan jenis kelamin.
4.
Dalam berbagai pelaksanaan,
aktivitas, contoh dan nash yang ada dalam kurikulum harus memelihara kebutuhan
nyata kahidupan masyarakat dengan tatap bertopang pada cita ideal Islami,
seperti tasa syukur dan harga diri sebagai umat Islam.
5.
Secara keseluruhan struktur dan
organisasai kurikulum hendaknya tidak bertentangan dan tidak menimbulkan
pertentngan dengan polah hidup Islami.
6.
Hendaknya kurikulum bersifat
realistik atau dapat dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi dalam
kehidupan negara tertentu.
7.
Hendaknya metoda pendidikan atau
pengajaran dalam kurikulum bersifat luwes sehingga dapat disesuaikan berbagai
situasi dan kondisi serta perbedaan individual dalam menangkap dan mengolah
bahan pelajaran.
8.
Hendaknya kurikulum itu efektif
dalam arti berisikan nilai edukatif yang dapat membentuk afektif (sikap) Islami
dalam kepribadian anak.
9.
Kurikulum harus memperhatikan
aspek-aspek tingkah laku amaliah Islami, seperti pendidikan untuk berjihad dan
dakwah Islamiyah serta membangun masyarakat muslim dilingkungan sekolah.
2. Tinjauan Filosofis Terhadap Metode
Pendidikan Islam
a.
Pengertian Metode
Secara
literal, metode berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari dua kosa kata,
yaitu meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalam. Berarti metode
bararti jalan yang dilalui. Runes , secara teknis menerangkan bahwa metode
adalah:
1.
Suatu prosedur yang dipakai untuk
mencapai suatu tujuan,
2.
Suatu teknik mengetahui yang dipakai dalam
proses mencari ilmu pengetahuan dari suatu materi tertentu,
3.
Suatu ilmu yang merumuskan
aturan-aturan dari suatu prosedur.
Berdasarkan
pendapat Runes tersebut, maka bila dikaitkan dengan proses kependidikan Islam,
metode berarti suatu prosedur yang dipergunakan pendidik dalam melaksanakan
tugas-tugas kependidikan (segi pendidik). Selain itu, dapat juga diartikan teknik
tertentu yang dipergunakan peserta didik untuk menguasai materi tertentu (segi
peserta didik), atau cara yang dipakai untuk merumuskan aturan-aturan tertentu
dari suatu prosedur (segi pembuat kebijakan). Dalam makalah ini, batasan yang
pertamalah yang akan menjadi fokus kajiannya.
b.
Asas-Asas Umum Metode Pendidikan
Islam
Dalam hal
ini sesungguhnya asa-asanya tidak akan jauh berbeda dengan asa-asa pembentukan
kurikulum. Hal ini dikarenakan dalam proses pendidikan Islam, seluruh
komponennya merupakan satu kesatuan yang utuh yang membantuk suatu sistem.
Secara umum menurut al-Syaibani , asas-asas metode pendidikan Islam adalah:
1.
Asas Agama, yaitu prinsip-prinsip,
asas-asas, dan fakta-fakta umum yang diambil dari sumber ajaran Islam
(al-Qur’an dan as-Sunnah)
2.
Asas Biologis, yaitu dasar yang
mempertimbangkan kebutuhan jasmani dan tingkat perkembangan usia peserta didik.
3.
Asas Psikologi, yaitu prinsip yang
lahir di atas pertimbangan kekuatan psikologis, seperti Motovasi, kebutuhan,
emosi, minat, bakat, sikap, keinginan, kecakapan akal dan lain sebagainya.
4.
Asas Sosial, yaitu asas yang
bersumber dari kehidupan sosial manusia seperti tradisi, kebutuhan-kebutuhan,
harapan dan tuntutan kehidupan yang senantiasa maju dan berkembang.
c.
Prinsip-prindip Metode Pendidikan Islam
Dalam hal
ini akan membahas bagaimana menyajikan bahan dan materi yang terdapat dalam
kurikulum dalam suatu kegiatan pendidikan. Berikut ini dikemukakan beberapa
ayat yang dipergunakan sebagai rujukan pengembangan metode pendidikan Islam
1.
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada
diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kamu sekalian. (Q. S. (33):21)
2.
Artinya: Serulah manusia kejalan
tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Berdiskusilah dengan pelajaran
yang baik (Q.S (16): 125); Ibrahim berkata: Wahai anaku sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana
pendapatmu? (Q.S ( 37): 102)
3.
(Q.S.(42): 38). sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
4.
Artinya: katakanlah: berjalanlah
kamu dimuka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
mendustakan itu (QS. 6;11), sesungguhnya telah berlaku sunnah-sunnah Allah
sebelum kamu, karena itu berjalanlah kamu dimuka buki dan perhatikanlah
bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan agama (Q.S. (3): 137)
5.
Artinya: Tatkala malam telah menjadi
gelap, dia melihat sebuah bintang lalu dia berkata: inilah Tuhanku.tetapi
tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata saya tidak suka kepada yang
tenggelam. Kemudian ketika dia melihat bulan terbit. Dia berkata: inilah
Tuhanku. Tetapi setelah bulan itu tenggelam dia berkata: sesungguhnya jika
tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang
sesat. Kemudian tatkala matahari terbit…. (Q.S. (6): 76-79)
6.
Artinya: perumpamaan orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah, bagaikan menanam sebutir banih yang
darinya tumbuh tujuh tangkai, dan tiap tangkai seratus biji (Q.S. (2): 261) dan
perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan
Allah untuk keteguhan jiwanya, seperti sebuah kebun terletak di dataran tinggi
yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali
lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya hujan gerimispun mencukupinya. Allah
maha melihat apa yang kami perbuat. (Q.S. (2); 265)Khusus masalah metode dalam
dunia pendidikan adalah suatu cara yang dipergunakan untuk menyampaikan atau
mentransformasikan isi atau bahan pendidikan kepada anak didik. Akhirnya model
penyampaian firman Allah yang evolutif dan demikian pula risalah kenabian
mengajarkan kepada kita uswah bahwa sosialisasi Islam yang dikenal dengan
pendidikan dan dakwah adalah sebuah proses.
d.
Macam Macam Metode
1. Metode
Teladan
2. Metode
Kisah-kisah
3. Metode
Nsihat
4. Metode
Pembiasaan
5. Metode
Hukuman dan Ganjaran
6. Metode
Ceramah
7. Metode
Diskusi
8. Metode
Perintah dan Larangan
9. Metode
Pemberian Suasana
10. Metode
Bimbingan dan Penyuluhan
11. Metode
Perumpamaan
12. Dan
lain sebagainya.
3. Analisis Filosofis tentang
Lingkungan Pendidikan
a.
Pengertian Lingkungan Pendidikan
Lingkungan
pendidikan adalah suatu institusi atau kelembagaan di mana pendidikan itu
berlangsung. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses pendidikan yang
berlangsung. Dalam beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai
pendapat para ahli tentang pengertian lingkungan pendidikan Islam. Menurut
Abuddin Nata, kajian lingkungan pendidikan Islam (tarbiyah Islamiyah) biasanya
terintegrasi secara implisit dengan pembahasan mengenai macam-macam lingkungan
pendidikan. Namun demikian, dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam
adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri ke-Islaman yang
memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.
Sebagaimana
yang telah disinggung di bagian pendahuluan, bahwa dalam al-Qur’an tidak
dikemukakan penjelasan tentang lingkungan pendidikan Islam tersebut, kecuali
lingkungan pendidikan yang terdapat dalam praktek sejarah yang digunakan
sebagai tempat terselenggaranya pendidikan, seperti masjid, rumah, sanggar para
sastrawan, madrasah, dan universitas. Meskipun lingkungan seperti itu tidak
disinggung secara lansung dalam al-Qur’an, akan tetapi al-Qur’an juga
menyinggung dan memberikan perhatian terhadap lingkungan sebagai tempat sesuatu.
Seperti dalam menggambarkan tentang tempat tinggal manusia pada umumnya,
dikenal istilah al-qaryah yang diulang dalam al-Qur’an sebanyak 52 kali yang
dihubungkan dengan tingkah laku penduduknya. Sebagian ada yang dihubungkan
dengan pendidiknya yang berbuat durhaka lalu mendapat siksa dari Allah (Q.S. 4:
72; 7:4; 17:16; 27:34) sebagian dihubungkan pula dengan penduduknya yang
berbuat baik sehingga menimbulkan suasana yang aman dan damai (16:112) dan
sebagian lain dihubungkan dengan tempat tinggal para nabi (Q.S. 27: 56; 7:88;
6:92). Semua ini menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting sebagai tempat
kegiatan bagi manusia, termasuk kegiatan pendidikan Islam.
b.
Macam-macam Lingkungan Pendidikan
Lingkungan
pendidikan sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan, sebab lingkungan
pendidikan tersebut berfungsi menunjang terjadinya proses belajar mengajar
secara aman, nyaman, tertib, dan berkelanjutan. Dengan suasana seperti itu,
maka proses pendidikan dapat diselenggarakan menuju tercapainya tujuan pendidikan
yang diharapkan. Pada periode awal, umat Islam mengenal lembaga pendidikan
berupa kutab yang mana di tempat ini diajarkan membaca dan menulis huruf
al-Qur’an lalu diajarkan pula ilmu al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya.
Begitu di awal dakwah Rasulullah SAW, ia menggunakan rumah Arqam sebagai
institusi pendidikan bagi sahabat awal (assabiqunal awwalun). Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam mengenal adanya rumah, masjid, kutab,
dan madrasah sebagai tempat berlangsungnya pendidikan, atau disebut juga
sebagai lingkungan pendidikan.
Pada
perkembangan selanjutnya, institusi pendidikan ini disederhanakan menjadi tiga
macam, yaitu keluarga—disebut juga sebagai salah satu dari satuan pendidikan
luar sekolah—sebagai lembaga pendidikan informal, sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal, dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal. Ketiga
bentuk lembaga pendidikan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan dan
pembinaan kepribadian peserta didik.
1.
Lingkungan Keluarga
Dalam
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa keluarga merupakan
bagian dari lembaga pendidikan informal. Selain itu, kelurga juga disebut
sebagai satuan pendidikan luar sekolah. Pentingnya pembahasan tentang keluarga
ini mengingat bahwa keluarga memiliki peranan penting dan paling pertama dalam
mendidik setiap anak. Bahkan Ki Hajar Dewantara, seperti yang dikutip oleh
Abuddin Nata, menyebutkan bahwa keluarga itu buat tiap-tiap orang adalah alam
pendidikan yang permulaan. Dalam hal ini, orang tua bertindak sebagai pendidik,
dan si anak bertindak sebagai anak didik. Oleh karena itu, keluarga mesti
menciptakan suasana yang edukatif sehingga anak didiknya tumbuh dan berkembang
menjadi manusia sebagaimana yang menjadi tujuan ideal dalam pendidikan Islam.
Agar
keluarga mampu menjalankan fungsinya dalam mendidik anak secara Islami, maka
sebelum dibangun keluarga perlu dipersiapkan syarat-syarat pendukungnya.
Al-Qur’an memberikan syarat yang bersifat psikologis, seperti saling mencintai,
kedewasaan yang ditandai oleh batas usia tertentu dan kecukupan bekal ilmu dan
pengalaman untuk memikul tanggung jawab yang di dalam al-Qur’an disebut baligh.
Selain itu, kesamaan agama juga menjadi syarat terpenting. Kemudian tidak
dibolehkan menikah karena ada hal-hal yang menghalanginya dalam ajaran Islam,
yaitu syirik atau menyekutukan Allah dan dilarang pula terjadinya pernikahan
antara seorang pria suci dengan perempuan pezina. Selanjutnya, juga persyaratan
kesetaraan (kafa’ah) dalam perkawinan baik dari segi latar belakang agama,
sosial, pendidikan dan sebagainya. Dengan memperhatikan persyaratan tersebut,
maka diharapkan akan tercipta keluarga yang mampu menjalankan tugasnya—salah
satu di antaranya—mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi yang tidak lemah
dan terhindar dari api neraka. Allah SWT berfirman: Surat al-Tahrim/66 ayat 6:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.
Karena
besarnya peran keluarga dalam pendidikan, Sidi Gazalba, seperti yang dikutip
Ramayulis, mengkategorikannya sebagai lembaga pendidikan primer, utamanya untuk
masa bayi dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah. Dalam lembaga ini, sebagai
pendidik adalah orang tua, kerabat, famili, dan sebagainya. Orang tua selain
sebagai pendidik, juga sebagai penanggung jawab.Oleh karena itu, orang tua
dituntut menjadi teladan bagi anak-anaknya, baik berkenaan dengan ibadah,
akhlak, dan sebagainya. Dengan begitu, kepribadian anak yang Islami akan
terbentuk sejak dini sehingga menjadi modal awal dan menentukan dalam proses
pendidikan selanjutnya yang akan ia jalani.
Untuk
memenuhi harapan tersebut, al-Qur’an juga menuntun keluarga agar menjadi
lingkungan yang menyenangkan dan membahagiakan, terutama bagi anggota keluarga
itu sendiri. Al-Qur’an memperkenalkan konsep kelurga sakinah, mawaddah, wa
rahmah. Firman Allah SWT: Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. ar-Rum/30: 21)
Menurut
Salman Harun, kata sakinah dalam ayat di atas diungkapkan dalam rumusan li
taskunu (agar kalian memperoleh sakinah) yang mengandung dua makna: kembali dan
diam. Kata itu terdapat empat kali dalam al-Qur’an, tiga di antaranya
membicakan malam. Pada umumnya, malam merupakan tempat kembalinya suami ke
rumah untuk menemukan ketenangan bersama istrinya. Saat itu, akan tercipta
ketenangan sehingga istri sebagai tempat memperoleh penyejuk jiwa dan raga.
Sementara mawaddah adalah cinta untuk memiliki dengan segenap kelebihan dan
kekuarangannya sehingga di antara suami istri saling melengkapi. Sedangkan
rahmah berarti rasa cinta yang membuahkan pengabdian. Kata ini memiliki
konotasi suci dan membuahkan bukti, yaitu pengabdian antara suami istri yang
tidak kunjung habis. Ketiga istilah inilah yang menjadi ikon keluarga bahagia
dalam Islam, yaitu adanya hubungan yang menyejukkan (sakinah), saling mengisi
(mawaddah), dan saling mengabdi (rahmah) antara suami dan istri. Dengan
demikian, keluarga harus menciptakan suasana edukatif terhadap anggota
keluarganya sehingga tarbiyah Islamiyah dapat terlaksana dan menghasilkan
tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
2.
Lingkungan Sekolah
Sekolah
atau dalam Islam sering disebut madrasah, merupakan lembaga pendidikan formal,
juga menentukan membentuk kepribadian anak didik yang Islami. Bahkan sekolah
bisa disebut sebagai lembaga pendidikan kedua yang berperan dalam mendidik
peserta didik. Hal ini cukup beralasan, mengingat bahwa sekolah merupakan
tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu pengetahuan.
Abu
Ahmadi dan Nur Uhbiyati menyebutkan bahwa disebut sekolah bila mana dalam
pendidikan tersebut diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai
perpanjangan dan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan
dasar sampai pendidikan tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang
telah ditetapkan. Secara historis keberadaan sekolah merupakan perkembangan lebih
lanjut dari keberadaan masjid. Sebab, proses pendidikan yang berlangsung di
masjid pada periode awal terdapat pendidik, peserta didik, materi dan metode
pembelajaran yang diterapkan sesuai dengan materi dan kondisi peserta didik.
Hanya saja, dalam mengajarkan suatu materi, terkadang dibutuhkan tanya jawab,
pertukaran pikiran, hingga dalam bentuk perdebatan sehingga metode seperti ini
kurang serasi dengan ketenangan dan rasa keagungan yang harus ada pada sebagian
pengunjung-pengunjung masjid.
Abuddin
Nata menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada satu pun kata yang secara
langsung menunjukkan pada arti sekolah (madrasah). Akan tetapi sebagai akar
dari kata madrasah, yaitu darasa di dalam al-Qur’an dijumpai sebanyak 6 kali.
Kata-kata darasa tersebut mengandung pengertian yang bermacam-macam, di
antaranya berarti mempelajari sesuatu (Q.S. 6: 105); mempelajari Taurat (Q.S.
7: 169); perintah agar mereka (ahli kitab) menyembah Allah lantaran mereka
telah membaca al-Kitab (Q.S. 3: 79); pertanyaan kepada kaum Yahudi apakah
mereka memiliki kitab yang dapat dipelajari (Q.S. 68: 37); informasi bahwa
Allah tidak pernah memberikan kepada mereka suatu kitab yang mereka pelajari
(baca) (Q.S. 34: 44); dan berisi informasi bahwa al-Quran ditujukan sebagai
bacaan untuk semua orang (Q.S. 6: 165). Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa
kata-kata darasa yang merupakan akar kata dari madrasah terdapat dalam
al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan madrasah (sekolah) sebagai
tempat belajar atau lingkungan pendidikan sejalan dengan semangat al-Qur’an
yang senantiasa menunjukkan kepada umat manusia agar mempelajari sesuatu.
Di
Indonesia, lembaga pendidikan yang selalu diidentikkan dengan lembaga
pendidikan Islam adalah pesantren, madrasah—Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah
Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA)—dan sekolah milik organisasi Islam
dalam setiap jenis dan jenjang yang ada, termasuk perguruan tinggi seperti IAIN
dan STAIN. Semua lembaga ini akan menjalankan proses pendidikan yang
berdasarkan kepada konsep-konsep yang telah dibangun dalam sistem pendidikan
Islam.
3.
Lingkungan Masyarakat
Masyarakat
sebagai lembaga pendidikan non formal, juga menjadi bagian penting dalam proses
pendidikan, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat.
Masyarakat yang terdiri dari sekelompok atau beberapa individu yang beragam
akan mempengaruhi pendidikan peserta didik yang tinggal di sekitarnya. Oleh
karena itu, dalam pendidikan Islam, masyarakat memiliki tanggung jawab dalam
mendidik generasi muda tersebut.
Menurut
an-Nahlawi, tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan tersebut hendaknya
melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, menyadari bahwa Allah menjadikan
masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran/amar ma’ruf nahi
munkar (Qs. Ali Imran/3: 104); kedua, dalam masyarakat Islam seluruh anak-anak
dianggap anak sendiri atau anak saudaranya sehingga di antara saling perhatian
dalam mendidik anak-anak yang ada di lingkungan mereka sebagaimana mereka
mendidik anak sendiri; ketiga, jika ada orang yang berbuat jahat, maka
masyarakat turut menghadapinya dengan menegakkan hukum yang berlaku, termasuk
adanya ancaman, hukuman, dan kekerasan lain dengan cara yang terdidik; keempat,
masyarakat pun dapat melakukan pembinaan melalui pengisolasian, pemboikotan,
atau pemutusan hubungan kemasyarakatan sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh
Nabi; dan kelima, pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerja sama
yang utuh karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.
Ibn
Qayyim mengemukakan istilah tarbiyah ijtimaiyah atau pendidikan kemasyarakatan.
Menurutnya tarbiyah ijtimaiyah yang membangun adalah yang mampu menghasilkan
individu masyarakat yang saling mencintai sebagian dengan sebagian yang
lainnya, dan saling mendoakan walaupun mereka berjauhan. Antara anggota
masyarakat harus menjalin persaudaraan. Dalam hal ini, ia mengingatkan dengan
perkataan hikmah “orang yang cerdik ialah yang setiap harinya mendapatkan teman
dan orang yang dungu ialah yang setiap harinya kehilangan teman”. Dari pendapat
di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang
lebih luas turut berperan dalam terselenggaranya proses pendidikan. Setiap
individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam
menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Oleh karena itu, dalam
pendidikan anak pun, umat Islam dituntut untuk memilih lingkungan yang
mendukung pendidikan anak dan menghindari masyarakat yang buruk. Sebab, ketika
anak atau peserta didik berada di lingkungan masyarakat yang kurang baik, maka
perkembangan kepribadian anak tersebut akan bermasalah. Dalam kaitannya dengan
lingkungan keluarga, orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang sehat
dan cocok sebagai tempat tinggal orang tua beserta anaknya. Begitu pula sekolah
atau madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, juga perlu memilih lingkungan
yang mendukung dari masyarakat setempat dan memungkinkan terselenggaranya
pendidikan tersebut.
Berpijak
dari tanggung jawab tersebut, maka dalam masyarakat yang baik bisa melahirkan
berbagai bentuk pendidikan kemasyarakatan, seperti masjid, surau, Taman
Pendidikan Al-Qur’an (TPA), wirid remaja, kursus-kursus keislaman, pembinaan
rohani, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah memberikan
kontribusi dalam pendidikan yang ada di sekitarnya.
Mengingat
pentingnya peran masyarakat sebagai lingkungan pendidikan, maka setiap individu
sebagai anggota masyarakat harus menciptakan suasana yang nyaman demi
keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi di dalamnya. Di Indonesia
sendiri dikenal adanya konsep pendidikan berbasis masyarakat (community basid
education) sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan. Meskipun konsep ini lebih sering dikaitkan dengan penyelenggaraan
lembaga pendidikan formal (sekolah), akan tetapi dengan konsep ini menunjukkan
bahwa kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan serta keberadaannya sangat
berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di suatu lembaga pendidikan formal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kurikulum itu adalah merupakan landasan yang
digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan
yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan ketrampilan dan sikap
mental.
2. Metode berarti suatu prosedur yang dipergunakan
pendidik dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan (segi pendidik). Selain
itu, dapat juga diartikan teknik tertentu yang dipergunakan peserta didik untuk
menguasai materi tertentu (segi peserta didik), atau cara yang dipakai untuk
merumuskan aturan-aturan tertentu dari suatu prosedur (segi pembuat kebijakan.
3. Lingkungan
pendidikan adalah suatu institusi atau kelembagaan di mana pendidikan itu
berlangsung. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses pendidikan yang
berlangsung. Dalam beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai
pendapat para ahli tentang pengertian lingkungan pendidikan Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Syaibani,
Omar Muhammad Al-Thoumy. Falsafah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang.
1979)
An Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. (Bandung: CV Dipenogoro. 1992)
Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Aksara. 1990)
________. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. I. (Jakarta: Bumi Aksara. 1991).
Langgulung, Hasan. Azas-Azas Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Al Husna. 1992)
Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim; pengantar filsafat pendidikan Islam dan Dakwah. (Yogyakarta: Sippres. 1993)
Nasution, S. Pengembangan Kurikulum. Cet. IV. ( Bandung: Citra Adirya Sakti. 1991).
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam 1. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997)
Nizar, Samsul dan Al Rasyid. Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis. (Jakarta: Ciputat Press. 2005)
Syam, Mohammad Noor. Falsafah Pendidikan Pancasila. (Surabaya: Usaha Nasional. 1996)
An Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. (Bandung: CV Dipenogoro. 1992)
Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Aksara. 1990)
________. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. I. (Jakarta: Bumi Aksara. 1991).
Langgulung, Hasan. Azas-Azas Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Al Husna. 1992)
Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim; pengantar filsafat pendidikan Islam dan Dakwah. (Yogyakarta: Sippres. 1993)
Nasution, S. Pengembangan Kurikulum. Cet. IV. ( Bandung: Citra Adirya Sakti. 1991).
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam 1. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997)
Nizar, Samsul dan Al Rasyid. Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis. (Jakarta: Ciputat Press. 2005)
Syam, Mohammad Noor. Falsafah Pendidikan Pancasila. (Surabaya: Usaha Nasional. 1996)
0 komentar:
Posting Komentar