Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah/cobaan yang lebih membahayakan bagi kaum pria daripada fitnah kaum wanita.” (HR. Muslim [2740])
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
dunia itu manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah mempercayakan kalian
untuk mengurusinya, Allah ingin melihat bagaimana perbuatan kalian. Maka
berhati-hatilah kalian dari fitnah dunia dan takutlah kalian akan
fitnah kaum wanita. Karena sesungguhnya fitnah pertama di kalangan Bani
Isra’il adalah dalam masalah wanita.” (HR. Muslim [2742])
Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Termasuk dalam kategori wanita yang dimaksud oleh hadits
ini adalah para istri maupun selain mereka. Dan yang paling banyak
fitnahnya adalah para istri karena fitnah mereka terus-menerus menyertai
dan kebanyakan orang pun telah terfitnah dengannya.” (lihat Syarh Muslim [9/8] cet. Dar Ibnu al-Haitsam)
[1] Perintah Menjaga Pandangan
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah
kepada kaum lelaki yang beriman hendaknya mereka menundukkan sebagian
pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Hal itu lebih suci bagi
mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa saja yang kalian
lakukan.” (QS. an-Nuur: 30)
Salah seorang yang salih mengatakan, “Barangsiapa yang memakmurkan penampilan lahirnya dengan ittiba’/mengikuti sunnah
dan menghiasi batinnya dengan senantiasa muroqobah/merasa diawasi
Allah, menundukkan pandangannya dari sesuatu yang diharamkan, menahan
dirinya dari hal-hal yang syubhat/samar-samar, dan mengkonsumsi makanan
yang halal, niscaya firasatnya tidak akan meleset.” (lihat Tazkiyat an-Nufus, hal. 39)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah akan menggantikan untuknya
yang lebih baik darinya. Barangsiapa yang menundukkan pandangannya maka
Allah akan menjadikan mata hatinya kembali bersinar.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [5/409])
[2] Perisai Untuk Menghadapi Fitnah
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Fitnah
syubhat ditepis dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat ditepis
dengan kesabaran. Oleh karena itu Allah Yang Maha Suci menjadikan
kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah
berfirman (yang artinya), “Dan Kami menjadikan di antara mereka para
pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka
bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. as-Sajdah:
24). Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan bekal sabar dan keyakinan
akan dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya
di dalam firman-Nya (yang artinya), “Mereka saling menasehati dalam
kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS.
al-’Ashr: 3). Saling menasehati dalam kebenaran merupakan penangkal
fitnah syubhat, sedangkan saling menasehati untuk menetapi kesabaran
adalah penangkal fitnah syahwat” (Lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/134], Ighatsat al-Lahfan hal. 669)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah
melakukan amal-amal (ketaatan) sebelum datangnya fitnah-fitnah (cobaan
dan godaan) yang datang bagaikan potongan-potongan malam yang gelap
gulita. Pada waktu itu, seseorang di pagi hari masih beriman namun di
sore harinya telah menjadi kafir. Atau di sore hari beriman, lalu di
pagi harinya menjadi kafir. Dia rela menjual agamanya demi mendapatkan
kesenangan dunia.” (HR. Muslim [118])
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga itu diliputi dengan hal-hal yang tidak disenangi, sedangkan neraka diliputi dengan hal-hal yang disenangi oleh nafsu.” (HR. Muslim [2822])
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang menjaga apa yang ada diantara kedua jenggotnya dan apa yang ada
diantara kedua kakinya niscaya dia akan masuk Surga.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 22)
Dikisahkan bahwa pada suatu malam ada seorang lelaki yang merayu
seorang wanita di tengah padang pasir. Akan tetapi wanita itu enggan
memenuhi ajakannya. Maka lelaki itu berkata, “Tidak ada yang melihat kita kecuali bintang-bintang.” Wanita itu pun berkata, “Kalau begitu, dimanakah yang menciptakan bintang-bintang itu?!” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 33)
Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata, “Sungguh aku
telah bertemu dengan orang-orang, yang mana seorang lelaki di antara
mereka kepalanya berada satu bantal dengan kepala istrinya dan basahlah
apa yang berada di bawah pipinya karena tangisannya akan tetapi istrinya
tidak menyadari hal itu. Dan sungguh aku telah bertemu dengan
orang-orang yang salah seorang di antara mereka berdiri di shaf [sholat]
hingga air matanya mengaliri pipinya sedangkan orang di sampingnya
tidak mengetahui.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 249)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Manusia itu,
sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang menciptakannya. Pada
dasarnya ia suka berbuat zalim dan bersifat bodoh. Oleh sebab itu, tidak
sepantasnya dia menjadikan kecenderungan dirinya, rasa suka, tidak
suka, ataupun kebenciannya terhadap sesuatu sebagai standar untuk
menilai perkara yang berbahaya atau bermanfaat baginya. Akan tetapi
sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang Allah pilihkan baginya,
yang hal itu tercermin dalam perintah dan larangan-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 89)
Ibnul Mubarak rahimahullah berkata dalam syairnya,
Kulihat tumpukan dosa mematikan hati
Mengidapnya membuat diri bertambah hina
Meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati
Yang terbaik untukmu tentu mencampakkannya
(lihat Tazkiyat an-Nufus, hal. 32)
Hati yang sehat dan sempurna memiliki dua karakter yang melekat padanya.
Karakter pertama; kesempurnaan ilmu, pengetahuan, dan keyakinan yang tertancap di dalam hatinya.
Karakter kedua; kesempurnaan kehendak hatinya terhadap segala perkara yang dicintai dan diridhai Allah ta’ala.
Dengan kata lain, hatinya senantiasa menginginkan kebaikan apapun yang
dikehendaki oleh Allah bagi hamba-Nya. Kedua karakter ini akan berpadu
dan melahirkan profil hati yang bersih, yaitu hati yang mengenali
kebenaran dan mengikutinya, serta mengenali kebatilan dan
meninggalkannya. Orang yang ilmunya dipenuhi dengan syubhat/kerancuan
dan keragu-raguan, itu artinya dia telah kehilangan karakter yang
pertama. Adapun orang yang keinginan dan cita-citanya selalu mengekor
kepada hawa nafsu dan syahwat, maka dia telah kehilangan karakter yang
kedua. Seseorang bisa tertimpa salah satu perusak hati ini, atau bahkan
-yang lebih mengerikan lagi- adalah keduanya bersama-sama menggerogoti
kehidupan hatinya (lihat al-Qawa’id al-Hisan, hal. 86)
[3] Sumber Kemaksiatan
Dalam kitabnya al-Fawa’id, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, “Sumber
segala bentuk kemaksiatan yang besar ataupun yang kecil ada tiga:
ketergantungan hati kepada selain Allah, memperturutkan kekuatan angkara
murka, dan mengumbar kekuatan nafsu syahwat. Wujudnya adalah syirik,
kezaliman, dan perbuatan keji. Puncak ketergantungan hati kepada selain
Allah adalah kemusyrikan dan menyeru sesembahan lain sebagai sekutu bagi
Allah. Puncak memperturutkan kekuatan angkara murka adalah terjadinya
pembunuhan. Adapun puncak mengumbar kekuatan nafsu syahwat adalah
terjadinya perzinaan.”
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa Allah ta’ala telah memadukan ketiga hal ini dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan
orang-orang yang tidak menyeru bersama Allah sesembahan yang lain, dan
tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali apabila ada alasan
yang benar, dan mereka juga tidak berzina.” (QS. al-Furqan: 68).
Ketiga jenis dosa ini saling menyeret satu dengan yang lainnya. Syirik
akan menyeret kepada kezaliman dan perbuatan keji, sebagaimana halnya
keikhlasan dan tauhid akan menyingkirkan kedua hal itu dari pemiliknya
(ahli tauhid). Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Demikianlah,
Kami palingkan darinya -Yusuf- keburukan dan perbuatan keji,
sesungguhnya dia termasuk kalangan hamba pilihan Kami (yang ikhlas).” (QS. Yusuf: 24)
Beliau menjelaskan, “Yang dimaksud dengan ‘keburukan’ (as-Suu’)
di dalam ayat tadi adalah mabuk asmara (‘isyq), sedangkan yang dimaksud
dengan perbuatan keji (al-fakhsya’) adalah perzinaan. Maka demikian pula
kezaliman akan bisa menyeret kepada perbuatan syirik dan perbuatan
keji. Sesungguhnya syirik itu sendiri merupakan kezaliman yang paling
zalim, sebagaimana keadilan yang paling adil adalah tauhid. Keadilan
pendamping tauhid, sedangkan kezaliman pendamping syirik.”
Oleh sebab itu Allah menyebutkan kedua hal itu secara berdampingan.
Adapun yang pertama -keadilan sebagai pendamping tauhid- adalah seperti
yang terkandung dalam firman Allah (yang artinya), “Allah bersaksi
bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Allah, demikian juga
bersaksi para malaikat dan orang-orang yang berilmu, dalam rangka
menegakkan keadilan.” (QS. Ali Imran: 18). Adapun yang kedua
-kezalimaan sebagai pendamping syirik- adalah seperti yang terkandung
dalam firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya syirik merupakan kezaliman yang sungguh-sungguh besar.”
(QS. Luqman: 13). Sementara itu, perbuatan keji pun bisa menyeret ke
dalam perbuatan syirik dan kezaliman. Terlebih lagi apabila keinginan
untuk melakukannya sangat kuat dan hal itu tidak bisa didapatkan selain
dengan menempuh tindakan zalim serta meminta bantuan sihir dan setan.
Allah juga menggandengkan antara zina dengan syirik di dalam firman-Nya (yang artinya), “Seorang
lelaki pezina tidak akan menikah kecuali dengan perempuan pezina pula
atau perempuan musyrik. Demikian juga seorang perempuan pezina tidak
akan menikah kecuali dengan lelaki pezina atau lelaki musyrik. Dan hal
itu diharamkan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nur: 3).
Ibnul Qayyim menegaskan, “Ketiga perkara ini saling menyeret satu
dengan yang lainnya dan saling mengajak satu sama lain. Oleh sebab itu,
tatkala semakin lemah tauhid dan semakin kuat syirik
di dalam hati seseorang maka semakin banyak pula perbuatan keji yang
dilakukan, dan semakin besar ketergantungan hatinya kepada
gambar-gambar -yang terlarang- serta semakin kuat pula kerinduan yang
menggelayuti hatinya terhadap gambar/rupa tersebut.” (lihat al-Fawa’id, hal. 78-79)
Wanita adalah Cobaan atas Kaum Pria
23.12 |
Read User's Comments(1)
Hukum Memandang dan Berjabat Tangan dengan Wanita Selain Mahram
00.51 |
Imam An-Nawawy mengatakan : “Pandangan kepada selain mahram
secara tiba-tiba tanpa maksud tertentu pada pandangan pertama maka tak ada
dosa. Adapun selain itu, bila ia meneruskan pandangannya maka hal itu sudah
terhitung sebagai dosa”. (Syarh Shohih Muslim 4/197).
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia, maka
tentunya Allah pun telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk
didalamnya bagaimana hukum yang berlaku bagi laki-laki dan wanita yang tidak
semahram dalam memandang dan berjabat tangan. Olehnya kita simak uraian dalil
Al-Quran dan Sunnah tentang masalah ini, agar hati kita tenang dan dapat
mengamalkannya sesuai dengan perintah agama.
Adapun dalil dari Al-Qur`an :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah An- Nuur :
31
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka
menundukkan pandangannya”.
Ayat ini menunjukkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala
kepada wanita-wanita mu’minah untuk menundukkan pandangannya dari apa yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah haramkan, maka jangan mereka memandang kecuali
apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah halalkan baginya.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah : “Kebanyakan para ulama
menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang haramnya wanita memandang laki-laki
selain mahramnya apakah dengan syahwat atau tanpa syahwat”. (Tafsir Ibnu Katsir
3/345).
Imam Al-Qurthuby rahimahullah menafsirkan ayat
ini : “Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai dengan perintah menundukkan pandangan
sebelum perintah menjaga kemaluan karena pandangan adalah pancaran hati. Dan
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan wanita-wanita mu’minah untuk
menundukkan pandangannya dari hal-hal yang tidak halal. Oleh karena itu tidak
halal bagi wanita-wanita mu’minah untuk memandang laki-laki selain mahramnya”.
(Tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an 2/227).
Imam Asy-Syaukany rahimahullah berkata: “Ayat ini
menunjukkan haramnya bagi wanita memandang kepada selain mahramnya”. (Tafsir
Fathul Qodir 4/32).
Muhammad Amin Asy-Syinqithy rahimahullah berkata: “Ayat ini
menjelaskan kepada kita bahwa yang menjadikan mata itu berdosa karena memandang
hal-hal yang dilarang berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah
Ghofir ayat 19 :
يَعْلَمُ خَائِنَةَ
الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُوْرِ
“Dia mengetahui khianatnya (pandangan) mata dan apa yang
disembunyikan oleh hati”.
Ini menunjukkan ancaman bagi yang menghianati matanya dengan
memandang hal-hal yang dilarang”.
Al-Imam Al-Bukhary rahimahullah berkata : “Makna dari ayat
(An-Nuur : 31) adalah memandang hal yang dilarang karena hal itu merupakan
pengkhianatan mata dalam memandang”. (Adhwa` Al-Bayan 9/190).
Dalil-dalil dari Sunnah :
Dari Abi Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu riwayat
Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam bersabda :
إِيَّاكُمْ
وَالْجُلُوْسَ فِي الطُّرُقَاتِ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا لَنَا بُدٌّ مِنْ
مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيْهَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوْا
الطَّرِيْقَ حَقَّهُ قَالُوْا وَمَا حَقُّهُ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ
الْأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ
الْمُنْكَرِ
“Hati-hatilah kalian dari duduk di jalan-jalan, mereka
bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah ada apa-apanya (bahayanya) dari
majlis-majlis yang kami berbicara didalamnya ?, Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa ‘alahi wasallam menjawab : “Apabila kalian tidak mau kecuali harus bermajlis
maka berikanlah bagi jalanan haknya”, mereka bertanya : “Dan apa haknya jalanan
itu ?”, Rasulullah menjawab : “Menundukkan pandangan, menahan diri dari
mengganggu, menjawab salam dan amar ma’ruf nahi mungkar”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bary (11/11) :
“Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
‘alahi wasallam melarang duduk di jalan, hal ini untuk menjaga timbulnya
penyakit hati dan fitnah dari memandang laki-laki atauipun wanita selain
mahramnya”.
Berkata Syamsuddin Al-‘Azhim Al-Abady sebagaimana dalam
‘Aunul Ma’bud (13/168) : “ghodhdhul bashor (menundukkan pandangan) yaitu
menahan pandangan dari melihat yang diharamkan”.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim,
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam menegaskan :
إِنَّ اللهَ كَتَبَ
عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ
فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ
وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ
زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ
وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam
bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Kedua mata zinanya
adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah
berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan
hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan
atau didustakannya”.
Imam Bukhary dalam menjelaskan hadits ini menyatakan bahwa
selain kemaluan, anggota badan lainnya dapat berzina, sebagaimana beliau
sebutkan dalam sebuah bab bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya dapat
berzina.
Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menukil dari Ibnu Baththol,
beliau berkata bahwa : “mata, mulut dan hati dinyatakan berzina karena asal
sesungguhnya dari zina kemaluan itu adalah memandang kepada hal-hal yang
haram”. (Fathul Bary 11/26).
Maka dari pernyataan ini menunjukkan bahwa hukum memandang
kepada selain mahram adalah haram karena memandang adalah wasilah (jalan) yang
mengantar kita untuk berbuat zina kemaluan yang mana hal itu termasuk dosa
besar.
Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata :
يَتَحَقَّقُ رَجُلٌ
مِنْ جُحْرٍ فِيْ حُجَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ وَمَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مدري
يحك به رأسه فقال لو أعلم أنك تنظر لطعنت به في عينك إنما جعل الاستئذان من أجل
البصر
“Seseorang dari satu celah mengamati kamar-kamar Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam dan pada Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa ‘alahi wasallam ada sisir yang beliau menggaruk kepalanya, maka beliau
berkata : “Sekiranya saya tahu engkau memandang (kekamarku) maka akan
kutusukkan sisir ini ke matamu, sesungguhnya diberlakukannya meminta izin itu
karena alasan pandangan”. (HR. Bukhary-Muslim).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Hadits ini menunjukkan
disyari’atkannya meminta izin disebabkan karena hal memandang dan adapun
larangan memandang ke dalam rumah orang tanpa memberitahu pemiliknya karena
dikhawatirkan ia akan melihat hal-hal yang haram”. (Fathul Bary : 11/221).
Dari Jarir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu :
سَأَلْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ
فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِيْ
“Aku bertanya kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
‘alahi wasallam tentang memandang secara tiba-tiba, maka Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘alahi wasallam memberi perintah kepadaku : “Palingkanlah
pandanganmu”. (HR. Muslim).
Syeikh Salim Al-Hilaly hafizhohullah berkata : “Hadits ini
menjelaskan bahwa tidak ada dosa pandangan kepada selain mahram secara
tiba-tiba (tidak disengaja) akan tetapi wajib untuk memalingkan pandangan
berikutnya, karena hal itu sudah merupakan dosa”. (Bahjatun Nadzirin 3/146).
Imam An-Nawawy mengatakan : “Pandangan kepada selain mahram
secara tiba-tiba tanpa maksud tertentu pada pandangan pertama maka tak ada
dosa. Adapun selain itu, bila ia meneruskan pandangannya maka hal itu sudah
terhitung sebagai dosa”. (Syarh Shohih Muslim 4/197).
Kesamaan Aqidah Imam Empat
12.15 |
Aqidah imam empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad
adalah yang dituturkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para Sahabat dan Tabi’in. Tidak
ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin (pokok agama). Mereka
justru sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat Allah 'Azza wa Jalla, bahwa
al-Qur’an itu dalam Kalam Allah, bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan
pembenaran dalam hati dan lisan. Mereka juga mengingkari para ahli kalam,
seperti kelompok Jahmiyyah dan lain-lain yang terpengaruh dengan filsafat
Yunani dan aliran-aliran kalam. Syaikhul-Islam Imam Ibnu Taimiyyah
menuturkan : “…Namun rahmat Allah kepada hamba-Nya menghendaki, bahwa
para imam yang menjadi panutan umat, seperti imam madzhab empat dan
lain-lain, mereka mengingkari para ahli kalam seperti kelompok Jahmiyyah
dalam masalah al-Qur’an, dan tentang beriman kepada sifatsifat Allah.
Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama Salaf, di mana antara lain, bahwa
Allah itu dapat dilihat di akhirat, al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk,
dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.”1
Imam Ibnu Taimiyyah juga menyatakan, para imam yang masyhur
itu juga menetapkan tentang adanya sifat-sifat Allah. Mereka mengatakan
bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk. Dan bahwa Allah itu
dapat dilihat di akhirat. Inilah madzhab para Sahabat dan Tabi’in, baik yang
termasuk Ahlul-Bait dan yang lain. Dan ini juga madzhab para imam yang
banyak penganutnya, seperti Imam Malik bin Anas, Imam ats-Tsauri, Imam al-Laits
bin Sa’ad, Imam al-Auza’i, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad.2
Imam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang aqidah Imam
Syafi’i. Jawab beliau: “Aqidah Imam Syafi’i dan aqidah para ulama Salaf
seperti Imam Malik, Imam ats-Tsauri, Imam al-Auza’i, Imam Ibnu
al-Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Ishaq bin Rahawaih adalah
seperti aqidah para imam panutan umat yang lain, seperti Imam al- Fudhal
bin ‘Iyadh, Imam Abu Sulaiman ad- Darani, Sahl bin Abdullah at-Tusturi,
dan lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat dalam Ushuluddin (masalah
aqidah). Begitu pula Imam Abu Hanifah, aqidah tetap beliau dalam masalah
tauhid, qadar dan sebagainya adalah sama dengan aqidah para imam
tersebut di atas. Dan aqidah para imam itu adalah sama dengan aqidah para sahabat
dan tabi’in, yaitu sesuai dengan apa yang dituturkan oleh al-Qur’an dan as- Sunnah.”3
Aqidah inilah yang dipilih oleh al-Allamah Shiddiq
Hassan Khan, dimana beliau berkata: “Madzhab kami adalah mazhab ulama Salaf,
yaitu menetapkan adanya sifat-sifat Allah tanpa menyerupakan-Nya dengan
sifat makhluk dan menjadikan Allah dari sifatsifat kekurangan, tanpa
ta’thil (meniadakannya makna dari ayat-ayat yang berkaitan dengan
sifat-sifat Allah). Mazdhab tersebut adalah madzhab imam-imam dalam Islam,
seperti Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Imam ats-Tsauri, Imam Ibnu
al- Mubarak, Imam Ahmad, dan lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat
mengenai ushuluddin. Begitu pula Imam Abu Hanifah, beliau sama aqidahnya
dengan para imam diatas, yaitu aqidah yang sesuai dengan apa yang
dituturkan oleh al-Qur’an dan as- Sunnah.”4
catataan:
1 Kitab al-Iman, hal. 350-351, Dar ath-Thiba’ah al- Muhammadiyyah,
Ta’liq Muhammad.
2 Manhaj as-Sunnah, II/106
3 Majmu’al-Fatawa, V/256.
4 Qathf ats-Tsamar, halaman 47-48.
Runtuhnya Gedung WTC
13.06 |
Keruntuhan gedung WTC pada 11 September 2001
ternyata sudah ada tertulis di Al qur'an sejak 1500 tahun yg lalu. Pasti sobat
semua sudah tahu tentang runtuhnya WTC tapi disini penulis ingin memberikan
fakta baru tentang kemukjizatan Al qur'an. Hal itu disinggung Al Qur'an
tepatnya di surat: At Taubah ayat 109:
"Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim"
"Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim"
Disitu disebutkan keruntuhan sebuah bangunan
karena yang mendirikannya adalah orang -orang yang zalim
Pada surat At Taubah diatas telah disebutkan kata "JURUFIN HAR" yang oleh ulama tafsir dulu diterjemahkan sebagai "ditepi jurang yang runtuh" ternyata 14 abad kemudian kata tersebut menjadi nama sebuah jalan dikota New York tempat berdirinya WTC, yaitu : Jalan JERF HAR.
Gedung WTC runtuh pada tanggal 11-9-2001.
Pada surat At Taubah diatas telah disebutkan kata "JURUFIN HAR" yang oleh ulama tafsir dulu diterjemahkan sebagai "ditepi jurang yang runtuh" ternyata 14 abad kemudian kata tersebut menjadi nama sebuah jalan dikota New York tempat berdirinya WTC, yaitu : Jalan JERF HAR.
Gedung WTC runtuh pada tanggal 11-9-2001.
Mari kita lihat beberapa kesamaan (yang
mestinya bukan hanya kebetulan semata) :
Tanggal 11 adalah tanggal terjadinya tragedi WTC, apakah suatu kebetulan bila surat At Taubah terletak pada juz ke 11. Bulan terjadinya tragedi itu adalah bulan September (bulan ke 9), apakah secara kebetulan jika surat At Taubah berada pada urutan ke 9 dari Alquran, Tahun terjadinya tragedi itu adalah tahun 2001, apakah secara kebetulan pula bila jumlah huruf dalam surat At Taubah terdiri dari 2001 huruf.
Tanggal 11 adalah tanggal terjadinya tragedi WTC, apakah suatu kebetulan bila surat At Taubah terletak pada juz ke 11. Bulan terjadinya tragedi itu adalah bulan September (bulan ke 9), apakah secara kebetulan jika surat At Taubah berada pada urutan ke 9 dari Alquran, Tahun terjadinya tragedi itu adalah tahun 2001, apakah secara kebetulan pula bila jumlah huruf dalam surat At Taubah terdiri dari 2001 huruf.
Jumlah tingkat di gedung WTC ada 109
tingkat, sekali lagi apakah mungkin kebetulan bila hal tersebut sudah tertuang
dalam QS At Taubah di ayat ke 109
Peristiwa runtuhan bangunan WTC beberapa tahun lalu bukanlah gambaran pertama al-Quran mengenai sesuatu peristiwa yang bakal terjadi pada masa akan datang. Sebaliknya, kitab suci itu dikatakan sudah menggambarkan mengenai kebangkitan kembali bangsa Rumawi setelah dikalahkan bangsa Persia dalam peperangan pada tahun 614. Setelah berakhirnya perang tersebut, turunlah ayat pertama hingga keempat dari surah ar-Rum yang menyatakan bangsa Rumawi akan kembali menang dalam jangka waktu beberapa tahun. Kemenangan bangsa Rumawi terhadap bangsa Persia itu kemudiannya benar-benar terjadi kira-kira delapan tahun kemudian seperti yang diramalkan dalam al-Quran.
Peristiwa runtuhan bangunan WTC beberapa tahun lalu bukanlah gambaran pertama al-Quran mengenai sesuatu peristiwa yang bakal terjadi pada masa akan datang. Sebaliknya, kitab suci itu dikatakan sudah menggambarkan mengenai kebangkitan kembali bangsa Rumawi setelah dikalahkan bangsa Persia dalam peperangan pada tahun 614. Setelah berakhirnya perang tersebut, turunlah ayat pertama hingga keempat dari surah ar-Rum yang menyatakan bangsa Rumawi akan kembali menang dalam jangka waktu beberapa tahun. Kemenangan bangsa Rumawi terhadap bangsa Persia itu kemudiannya benar-benar terjadi kira-kira delapan tahun kemudian seperti yang diramalkan dalam al-Quran.
Selain gambaran mengenai peristiwa yang akan
terjadi pada masa akan datang, kajian isi kandungan Al-Quran juga menunjukkan
bahwa kitab suci itu mengandung berbagai ilmu pengetahuan yang melampaui zaman
ia diturunkan, al-Qur’an diturunkan pada abad ke-6. Kajian mengenai berbagai
rahasia alam berawal kira-kira abad ke-19 dan ketika itulah didapati bahwa
segala fakta sains yang ditemui adalah sesuai dengan asas dan kandungan yang
ada dalam al-Quran. Antara lain fakta sains yang ditemukan dan terdapat dalam
al-Quran adalah: Semua cakrawala,planet bergerak secara terapung (pada
rotasinya) (Yaasiin: 40), bumi bergerak (An-Naml: 88), pokok
menghasilkan bahan bakar (Yaasiin: 80), atom adalah benda terkecil (Yunus:
61) dan semakin tinggi semakin sukar bernafas (Al- An’aam: 125).
Fakta lain adalah semua makhluk berpasangan (Adz-Dzaariyaat:
49), proses kejadian manusia (Al-Mu’minuun), kegunaan besi (Al-Hadiid: 25)
dan langit yang terkawal (Al-Anbiyaa’: 32).
Selain itu, peneletian lain yang dilakukan
untuk mencari keajaiban al-Quran mendapati bahwa jumlah sesetengah perkataan
berbahasa Arab di dalam kitab itu adalah saling berlawanan. Antara perkataan
berkenaan adalah;
Dunia yang disebut sebanyak 115 kali manakala akhirat yang turut Disebut sebanyak 115 kali
Malaikat dan syaitan (88 kali),
Hidup dan mati (145 kali),
Faedah dan kerugian (50 kali),
Kesusahan dan kesabaran (114 kali) serta
Lelaki dan perempuan (24 kali).
Perkataan lain adalah ummah dan penyampai (50 kali),
Iblis dan memohon perlindungan daripada iblis (11 kali),
Musibah dan bersyukur (75 kali),
Bersedekah dan berpuas hati (73 kali) serta
Zakat dan berkat (32 kali).
Golongan muslimin dan jihad (41 kali),
Orang yang sesat dan meninggal dunia (17 kali),
Emas dan kemurahan hidup (8 kali),
Keajaiban dan fitnah (60 kali),
Minda dan nur (49 kali),
Lidah dan sumpah (25 kali), nafsu dan ketakutan (lapan kali),
Bercakap di khalayak ramai dan berdakwah (18 kali).
Jumlah perkataan lain dianggap ajaib dijumpai adalah solat (lima kali),
Bulan (12 kali),
Tahun (365), l
Lautan (32 kali) dan daratan (13 kali).
Jumlah lautan dan daratan ini apabila ditukar dalam bentuk peratus bersamaan dengan jumlah sebenar kawasan laut dan darat yang terdapat di dunia ketika ini iaitu 71.111 peratus dan 28.889 peratus.
Misteri dan rahsia yang terkandung dalam al-Quran seharusnya meyakinkan umat Islam bahawa agama Islam adalah agama yang benar selaras dengan rukun iman ketiga iaitu beriman terhadap kitab-kitab Allah.
Dunia yang disebut sebanyak 115 kali manakala akhirat yang turut Disebut sebanyak 115 kali
Malaikat dan syaitan (88 kali),
Hidup dan mati (145 kali),
Faedah dan kerugian (50 kali),
Kesusahan dan kesabaran (114 kali) serta
Lelaki dan perempuan (24 kali).
Perkataan lain adalah ummah dan penyampai (50 kali),
Iblis dan memohon perlindungan daripada iblis (11 kali),
Musibah dan bersyukur (75 kali),
Bersedekah dan berpuas hati (73 kali) serta
Zakat dan berkat (32 kali).
Golongan muslimin dan jihad (41 kali),
Orang yang sesat dan meninggal dunia (17 kali),
Emas dan kemurahan hidup (8 kali),
Keajaiban dan fitnah (60 kali),
Minda dan nur (49 kali),
Lidah dan sumpah (25 kali), nafsu dan ketakutan (lapan kali),
Bercakap di khalayak ramai dan berdakwah (18 kali).
Jumlah perkataan lain dianggap ajaib dijumpai adalah solat (lima kali),
Bulan (12 kali),
Tahun (365), l
Lautan (32 kali) dan daratan (13 kali).
Jumlah lautan dan daratan ini apabila ditukar dalam bentuk peratus bersamaan dengan jumlah sebenar kawasan laut dan darat yang terdapat di dunia ketika ini iaitu 71.111 peratus dan 28.889 peratus.
Misteri dan rahsia yang terkandung dalam al-Quran seharusnya meyakinkan umat Islam bahawa agama Islam adalah agama yang benar selaras dengan rukun iman ketiga iaitu beriman terhadap kitab-kitab Allah.
SubhanAllah, Maha Suci Allah dan sungguh benar
Muhammad adalah Rasul-Mu !. Sungguh benarlah firman-Mu : "Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru
langit dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an
itu adalah benar ....(Al Qur'an, surah Al Fushshilat 53)
Langganan:
Postingan (Atom)